PANTAI DESA MADWAER
Pesona indah pasir pante Desa Madwaer atau metro menyejukan semua mata yang memandang dan memikai hati para wisatawan lokal maupun nonlokal. Pasir putih yang panjangnya kurang lebih 1 (satu) Km dari Desa Madwaer menghubungkan Desa Ohoider dengan garis pante kurang lebih 150 meter kini mulai dikunjungi wisatawan domestic dan mancanegara karena akses jalan aspal alus (Butas) yang sudah mulai membaik dari arah timur Pulau Kei Kecil.
Desa Madwaer Bukan hanya memiliki potensi pasir yang halus dan panjang tetapi potensi wisata bawa laut untuk snorkeling dan daving bagi para penyelam dari depan ohoi madwaer sampai dengan pesisir barat yaitu pasir putih Arat. Juga memiliki gelombang panjang untuk permainan surving.
Tempat –tempat pengembangan wisata yang menjadi daya tarik wisatawan seperti :
1. Pantai Pasir Halus Yang Panjang
2. Potensi bawah laut Untuk Snorkling Dan Daving
3. Telaga El
4. Sumur Tua (Wear Tangar)
5. Tempat Tabob Di Pante Abovan
6. Tavu Ni Leaat Di Pante Arat
Pantai Metro ini berada diposisi kedua pasir terhalus didunia setelah America banyak yg belum tahu hal ini.....
Pantai metro berpusat di desa madwear dengan jarak 51 km dari Kabupaten Maluku tenggara.Karna pusatnya yg cukup jauh maka jarang orang yg pergi kesana....
tapi jangan lupa lestarikan alam yg sudah Tuhan berikan di Tanah Kei ini
BETA KEI
BETA INDONESIA
Kei Islands
Senin, 30 Oktober 2017
Adat Istiadat Kepulauan Key dan Nama-Nama Raschatp
Adat Istiadat Kepulauan Key dan Nama-Nama Raschatp
Saudara-saudara anak Maluku di Sini saya akan menulis sedikit tentang adat Istiadat yang ada di Kepulauan Kei Maluku tenggara,yang saya kutip dari buku yang berjudul BAT BATANG FITROA FITNANGAN yang artinya: Tata guna tanah dan laut Tradisional kei yang ditulis oleh J.P.RAHAIL Tahun terbit 1995.
1.Pembagian Wilayah adat Kei
Kepulauan kei atau dalam bahasa setempat disebut Evav.terletak di propinsi Maluku tenggara Gugusan kepulauan ini terletak diantara gugus kep.Tanimbar disebelah barta ,gugus kepulauan aru sebelah timur,daratan besar Irian jaya disebelah utara dan laut Timor seta daratan besar Benua Australia
Menurut sejarah budayanya ,kepulauan Kei dibagi dalam beberapa wilayah hukum adat yang disebut Loor.Setiap wilayah hukkum adat tersebut termasuk dalam salah satu dari tiga rumpun adat besar yang disebut;
Ur Siu = Rumpun Sembilan
Loor Lim = Rumpun Lima
Loor Labai = rumpun penengah
Setiapa rumpun besar ini mempunyai cirri khas sejrah loka,tatanan social-politik,hubungan-hubungan kekerabtan dan aturan –aturan hukum adatnya masing-masing.biasanya ,wilayah –wilayah hukum adat yang termasuk dalam satu rumpun besar yang sama,banyak memiliki kesamaan atau bahkan memiliki hubungan –hubungan kekerabatan dan pertalian darah secara langsung maupun tidak langsung meskipun demikian ,secara umum keseluruhan kepulauan kei mempunyai dasar hukum yang sama yaitu Larwul Ngabal.
Diseluruh kepulauan kei (Pulau kei besar,kei kecil,kei Dullah dan ratusan pulau kecil lainnya),terdapat 22 wilayah hokum adat atau Rat yang pada masa colonial Belanda dulu disebut sebagai Ratschap (schap= satuan wilayah administratif tertentu yang mencakup beberapa satuan wilayah yang lebih kecil.
Khusus untuk wilayah Pulau Kei besar,terdapat 7 pembagian wilayah adat (ratskhap)yang juga terbagi dalam tiga rumpun besar adat di atas tadi,yakni:
A.Yang termasuk dalam rumpun besar Loor lim,adalah :
1.Ratskhap Tabab Yamlin,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat di desa Fer;
2.Ratskhap Lo-Ohoitel,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat didesa Nerong;
3.Ratskhap Ub-ohoifaak,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat Berpindah secara bergilir di empat desa :Erlarang,Weer,Maar, dan Uat;
B.Yang termasuk dalam rumpun Ur Siu adalah;
1.RatsKhap Mer-Ohoinean,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat di desa Ohoinangan;
2.Ratskhap Meu-Umfit,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan di desa Yamtel;
3.Ratskahap Maur-Ohoiwut dengan ibu negeri atau pusat Pemerintaha di desa Watlar;
C.Yang termasuk dalam rumpun Loor Lobai adalah;
1.Werka,dengan pusat pemerintahan di desanyan saja.
Wilyah adat Maur Ohoiwaut
Secarah harafiah ,Maur Ohoiwut berarti “sepuluh kampung besar atau desabernama Maur”(maur = nama wilayah adat ; ohoi = kampong besar atau desa;wut = sepuluh).Menurut sejarahnya ,wilayah adat ini memang pada awalnya dibentuk sebagai suatu persekutuan adat yang mencakup 10 desa atau kampung besar,yakni;
1.Maun – ohoitel
2.Mel – ohoru Ri-I faak enwavna waer – ohoinean(Ad)
3.Mel yamtel ri- yamtel (ohoiraut)
4.Hoor – ohoitel(haar)
5.Rahangiar Wutlim (langgiar haar)
6.Renfaan Yamlim(renfaan)
7.wear-ohoitel(banda eli)
8.Ngil- ohoiru(watlar &Ohoifau)
9.Soin Ho-arki(hollat)
10.Wutwan –ohoitel(Kilwair)
Setiap desa atau kampong atau kampong besar tadi masih dterbagi lagi menjadi beberapa kampung kecil (dusun)yang jumlahnya berbeda satu sama lain, Misalnya kampong besar atau desa mun terdiri dari enam kampung kecil
Untuk kemudahan teknis pelaksanaa pemerintahan adat sehari-hari persekutuan 10 desa sebagai suatu kesatuan wilayah adat ini dibagi lagi dalam tiga kawasan ,yakni;
+ Kawasan barat yang disebut Ohoittel Warat ,Mencakup desa-desa mun ad serta seluruh Kampung
yang berada Didalam wilyah dua desa tersebut:
+ Kawasan Timur bagian utara yang disebut Ref lim wav,mencakup desa-desa Ohoiraut ,Haar,Renfaan,
dan Banda eli beserta semua Kampung atau dusun yang termasuk dalam wilayah lima desa tersebut;
+ Kawasan timur bagian selatan yang disebut Ref Lim rat,mencakup desa-desa Watlaar ,ohoifau,Hollat
dan Kilwair beserta seluruh kampung atau dusun yang termasuk dalam wilayah empat desa tersebut
Saudara-saudara anak Maluku di Sini saya akan menulis sedikit tentang adat Istiadat yang ada di Kepulauan Kei Maluku tenggara,yang saya kutip dari buku yang berjudul BAT BATANG FITROA FITNANGAN yang artinya: Tata guna tanah dan laut Tradisional kei yang ditulis oleh J.P.RAHAIL Tahun terbit 1995.
1.Pembagian Wilayah adat Kei
Kepulauan kei atau dalam bahasa setempat disebut Evav.terletak di propinsi Maluku tenggara Gugusan kepulauan ini terletak diantara gugus kep.Tanimbar disebelah barta ,gugus kepulauan aru sebelah timur,daratan besar Irian jaya disebelah utara dan laut Timor seta daratan besar Benua Australia
Menurut sejarah budayanya ,kepulauan Kei dibagi dalam beberapa wilayah hukum adat yang disebut Loor.Setiap wilayah hukkum adat tersebut termasuk dalam salah satu dari tiga rumpun adat besar yang disebut;
Ur Siu = Rumpun Sembilan
Loor Lim = Rumpun Lima
Loor Labai = rumpun penengah
Setiapa rumpun besar ini mempunyai cirri khas sejrah loka,tatanan social-politik,hubungan-hubungan kekerabtan dan aturan –aturan hukum adatnya masing-masing.biasanya ,wilayah –wilayah hukum adat yang termasuk dalam satu rumpun besar yang sama,banyak memiliki kesamaan atau bahkan memiliki hubungan –hubungan kekerabatan dan pertalian darah secara langsung maupun tidak langsung meskipun demikian ,secara umum keseluruhan kepulauan kei mempunyai dasar hukum yang sama yaitu Larwul Ngabal.
Diseluruh kepulauan kei (Pulau kei besar,kei kecil,kei Dullah dan ratusan pulau kecil lainnya),terdapat 22 wilayah hokum adat atau Rat yang pada masa colonial Belanda dulu disebut sebagai Ratschap (schap= satuan wilayah administratif tertentu yang mencakup beberapa satuan wilayah yang lebih kecil.
Khusus untuk wilayah Pulau Kei besar,terdapat 7 pembagian wilayah adat (ratskhap)yang juga terbagi dalam tiga rumpun besar adat di atas tadi,yakni:
A.Yang termasuk dalam rumpun besar Loor lim,adalah :
1.Ratskhap Tabab Yamlin,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat di desa Fer;
2.Ratskhap Lo-Ohoitel,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat didesa Nerong;
3.Ratskhap Ub-ohoifaak,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat Berpindah secara bergilir di empat desa :Erlarang,Weer,Maar, dan Uat;
B.Yang termasuk dalam rumpun Ur Siu adalah;
1.RatsKhap Mer-Ohoinean,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan adat di desa Ohoinangan;
2.Ratskhap Meu-Umfit,dengan ibu negeri atau pusat pemerintahan di desa Yamtel;
3.Ratskahap Maur-Ohoiwut dengan ibu negeri atau pusat Pemerintaha di desa Watlar;
C.Yang termasuk dalam rumpun Loor Lobai adalah;
1.Werka,dengan pusat pemerintahan di desanyan saja.
Wilyah adat Maur Ohoiwaut
Secarah harafiah ,Maur Ohoiwut berarti “sepuluh kampung besar atau desabernama Maur”(maur = nama wilayah adat ; ohoi = kampong besar atau desa;wut = sepuluh).Menurut sejarahnya ,wilayah adat ini memang pada awalnya dibentuk sebagai suatu persekutuan adat yang mencakup 10 desa atau kampung besar,yakni;
1.Maun – ohoitel
2.Mel – ohoru Ri-I faak enwavna waer – ohoinean(Ad)
3.Mel yamtel ri- yamtel (ohoiraut)
4.Hoor – ohoitel(haar)
5.Rahangiar Wutlim (langgiar haar)
6.Renfaan Yamlim(renfaan)
7.wear-ohoitel(banda eli)
8.Ngil- ohoiru(watlar &Ohoifau)
9.Soin Ho-arki(hollat)
10.Wutwan –ohoitel(Kilwair)
Setiap desa atau kampong atau kampong besar tadi masih dterbagi lagi menjadi beberapa kampung kecil (dusun)yang jumlahnya berbeda satu sama lain, Misalnya kampong besar atau desa mun terdiri dari enam kampung kecil
Untuk kemudahan teknis pelaksanaa pemerintahan adat sehari-hari persekutuan 10 desa sebagai suatu kesatuan wilayah adat ini dibagi lagi dalam tiga kawasan ,yakni;
+ Kawasan barat yang disebut Ohoittel Warat ,Mencakup desa-desa mun ad serta seluruh Kampung
yang berada Didalam wilyah dua desa tersebut:
+ Kawasan Timur bagian utara yang disebut Ref lim wav,mencakup desa-desa Ohoiraut ,Haar,Renfaan,
dan Banda eli beserta semua Kampung atau dusun yang termasuk dalam wilayah lima desa tersebut;
+ Kawasan timur bagian selatan yang disebut Ref Lim rat,mencakup desa-desa Watlaar ,ohoifau,Hollat
dan Kilwair beserta seluruh kampung atau dusun yang termasuk dalam wilayah empat desa tersebut
Kebudayaan Maluku
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Budaya itu sendiri terbentuk dari banyak unsur yang cukup rumit, seperti sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sama seperti budaya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggap bahasa merupakan warisan yang diturunkan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat.
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Wujud kebudayaan daerah Indonesia sendiri tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan Indonesia apabila di bagi berdasarkan jenisnya, akan dilihat dari unsur : Rumah Adat, Tradisi Adat, Tarian, Lagu, Alat Musik, Pakaian Adat dan Makanan.
Salah satu kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Maluku. Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku merupakan sekelompok pulau yang menjadi bagian dari Nusantara. Maluku berbatasan dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan Palau di timur laut. Ibu kota Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan sebagai Ambon Manise. Jumlah penduduk provinsi ini tahun 2010 dalam hasil sensus berjumlah 1.533.506 jiwa. Maluku memiliki 2 agama utama yaitu agama Islam yang dianut 50,61 % penduduk Maluku dan agama Kristen (baik Protestan maupun Katolik) yang dianut 48,4 % penduduk Maluku. Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.
I. Rumah Adat
Rumah Adat merupakan bangunan yang memiliki ciri khas khusus, yang digunakan sebagai tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah Adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam suatu komunitas ataupun masyarakat. Rumah adat Maluku sendiri dinamakan Baileo.
Rumah adat Baileo biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan, musyawarah dan upacara adat yang disebut Saniri Negeri. Rumah Baileo ini merupakan jenis rumah panggung. Atap Rumah Baileo berukuran besar dan tinggi yang terbuat dari daun rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari tangkai rumbai. Namun, pada saat ini dapat dilihat bahwa rumah Baileo menggunakan material bangunan sebagian besar berbahan dasar kayu, kokoh dengan cukup banyak ornamen, ukiran yang menghiasi seluruh bagian dari rumah tersebut.
II. Pakaian Adat
Pakaian adat adalah simbol sandang pada suatu daerah yang memiliki identitas dan diciri khas kan sebagai simbol kebudayaan suatu daerah. Pakaian adat biasanya digunakan untuk memperingati hari besar seperti kelahiran, penikahan, kematian ataupun hari-hari besar keagamaan.
Pakaian adat Maluku yang dikenal dengan nama baju cele atau kain salele adalah pakaian adat dengan nilai estetis dan filosofis tinggi. Meski sederhana dan secara penggunaan tidak serumit pakaian adat dari provinsi lain di Indonesia, pakaian adat Maluku ini dianggap mewakili karakteristik adat suku-suku di Kepulauan Maluku yang khas.
Ciri-ciri dari baju Cele ini terlihat dari motif garis-garis yang geometris/berkotak-kotak kecil. Baju cele ini biasanya dikombinasikan dengan kain sarung yang warnanya tidak terlalu jauh berbeda, harus seimbang dan serasi dan di kombinasi dengan kain yang pelekat yang disalele yaitu disarung dari luar dilapisi sampai batas lutut dan dipakai Lenso (sapu tangan yang diletakan di pundak). Pakaian ini dipakai tanpa pengalas kaki atau boleh juga pakai selop. Konde/sanggul yaitu konde bulan yang diperkuat lagi dengan tusukan konde yang disebut haspel yang terbuat dari emas atau perak. Selain itu ada juga, Baju Nona Rok. Dimana, baju tersebut terdiri dari kebaya putih tangan panjang berlengan kancing dari jenis kain Brokar halus. Pengikat pinggang terbuat dari perak yang disebut pending. Pada bagian bawah mungkin sedikit modern yakni memakai Sepatu vantovel berwarna hitam dan berkaos kaki putih. Selain itu pada pakaian perempuan mengenakan Rok yang dibuat/dijahit lipit kecil sekali dari jenis kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange. Seperti halnya orang Jawa Pada, pada bagain atas perempuan menggunakan konde yang dibuat dari rambut asli atau konde palsu yang siap dipakai yaitu konde Bulan. Selain itu ada juga bagian-bagain perlengkapan konde sebagai berikut:
· Tusuk konde disebut Haspel yang dibuat dari emas atau perak.
· Kak kuping 4 buah ditusuk pada lingkaran konde bentuknya seperti kembang terbuat dari perak atau emas.
· Sisir Konde diletakan pada bagian tengah dari konde tersebut dibuat juga dari emas atau perak.
· Bunga Ron dilingkar pada konde tersebut dibuat dari bahan gabus atau Papeceda.
Sebagain besar pakaian adat hanya membuat bagian luarnya saja. Di Maluku tidak hanya membuat pakain luar, namun ada juga yang menjadi ciri khas pakaian Maluku yaitu memperhatikan pakaian dalam juga. Berikut bagian-bagian pakaian dalam seperti Cole, yaitu baju dalam atau disebut kutang yang dipakai/digunakan sebelum memakai kebaya. Ada Cole berlengan panjang tapi ada juga Cole berlengan pendek dan pada bagian atasnya diberi renda border. Cole sendiri terbuat dari kain putih, sedangkan bagian belakang dari Cole tersebut disebut belakang cole dibordir bagian belakang. Sedangkain pada bagian depan, Cole memakai kancing dan pada bagian ujung lengan diberi renda bordir. Selain itu pada golongan menengah atau orang-orang terpelajar dan keluarga goolongan pemerintahan seperti guru, pendeta. Pakaian ini disebut pakaian Nona Rok. Pakaian ini dipakai pada acara-acara penting yaitu pesta perkawianan acara kenegaraan dan lain-lain.
III. Bahasa
Bahasa yang digunakan di Provinsi Maluku adalah Bahasa Ambon, yang merupakan salah satu dari rumpun bahasa Melayu timur yang dikenal sebagai bahasa dagang atau trade language. Bahasa yang dipakai di Maluku terkhusus di Ambon sedikit banyak telah dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing, bahasa-bahasa bangsa penjelajah yang pernah mendatangi, menyambangi, bahkan menduduki dan menjajah negeri/tanah Maluku pada masa lampau. Bangsa-bangsa itu ialah bangsa Spanyol, Portugis, Arab, dan Belanda. Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia, Provinsi Maluku dan Maluku Utara menyusun sebuah big islands yang dinamai Kepulauan Maluku. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini.
Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia, Provinsi Maluku dan Maluku Utara menyusun sebuah big islands yang dinamai Kepulauan Maluku. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini. Beberapa bahasa yang paling umum dipetuturkan di Maluku yaitu:
· Bahasa Wemale, dipakai penduduk Negeri Piru, Seruawan, Kamarian, dan Rumberu (Kabupaten Seram Bagian Barat).
· Bahasa Alune, dipakai di wilayah tiga batang air yaitu Tala, Mala, dan Malewa di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat.
· Bahasa Nuaulu, dituturkan oleh suku Nuaulu di Pulau Seram Selatan yaitu antara Teluk Elpaputi dan Teluk Teluti.
· Bahasa Atiahu, dipakai oleh tiga negeri yang juga termasuk rumpun Nuaulu yakni Negeri Atiahu, Werinama, dan Batuasa di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.
· Bahasa Koa, dituturkan di wilayah pegunungan tengah Pulau Seram yaitu sekitar Manusela dan Gunung Kabauhari.
· Bahasa Seti dituturkan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Teluti Timur, merupakan bahasa dagang di Seram Bagian Timur.
· Bahasa Gorom merupakan turunan dari bahasa Seti dan dipakai oleh penduduk beretnis atau bersuku Gorom yang berdiam di kabupaten Seram Bagian Timur yang menyebar sampai Kepulauan Watubela dan Maluku Tenggara.
· Bahasa Tarangan merupakan bahasa pemersatu dan dipakai oleh penduduk wilayah Pulau Aru dengan ibu kota Kab. Dobo Maluku Tenggara.
Tiga bahasa yang hampir punah adalah Palamata dan Moksela serta Hukumina. Ratusan bahasa di atas dipersatukan oleh sebuah bahasa pengantar yang telah menjadi lingua franca sejak lama yaitu Bahasa Ambon. Sebelum bangsa-bangsa asing (Arab, Cina, Spanyol, Portohis, Wolanda, dan Inggris) menginjakkan kakinya di Maluku, bahasa-bahasa asli Maluku tersebut sudah hidup setidaknya ribuan tahun dan menjadi bahasa-bahasa dari keluarga atau rumpun paling barat keluarga bahasa-bahasa Pasifik/Melansia (bahasa Papua-Melanesoid)
IV. Agama
Penduduk Maluku menganut 3 agama utama yaitu Islam sebanyak 50,61%, Kristen Protestan sebanyak 41,40%, dan Katolik sebanyak 6,76% penduduk. Penyebaran agama Islam dilakukan oleh Kesultanan Iha, Saulau, Hitu, dan Hatuhaha serta pedagang Arab yang mengunjungi Maluku. Sementara penyebaran agama Kristen dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2013 tercatat yaitu sebagai berikut:
· Masjid sebanyak hampir 2 ribu buah
· Gereja sebanyak 2.345 buah
· Pura sebanyak 10 buah
· Vihara sebanyak 5 buah.
Gereja Protestan Maluku atau biasa dikenal sebagai GPM merupakan organisasi sinode dan pertubuhan gereja terbesar yang ada di Maluku, yang memiliki jemaat gereja di hampir seluruh negeri Sarane di seluruh Maluku.
V. Tradisi Adat
1. Budaya Hawear
Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun. Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya. Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar). Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan. Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya. Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.
2. Batu Pamali
Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo, rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku. Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat. Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa.
3. Upacara Fangnea Kidabela
Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela. Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.
Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena. Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah. Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat.
4. Budaya Arumbae
Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan. Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur dari pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara. Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.
5. Sasahil dan Nekora
Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri Siri Sori Kristen di pulau Saparua. Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga. Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan proses pelaksanaan. Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara dengan baik. Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang.
VI. Tarian
Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Terdapat lebih dari 700 suku bangsa di Indonesia: dapat terlihat dari akar budaya bangsa Austronesia dan Melanesia, dipengaruhi oleh berbagai budaya dari negeri tetangga di Asia bahkan pengaruh barat yang diserap melalui kolonialisasi. Tarian asal Maluku sendiri diketahui sangat banyak dan beragam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tarian Bambu Gila
Atraksi Bambu Gila, sebuah permainan rakyat yang berasal dari Maluku. Permainan ini melibatkan kekuatan supranatural untuk menjalankannya, walaupun tidak diperlukan ritual tertentu. Sebatang bambu dipegang oleh beberapa orang, lalu oleh seorang dukun bambu ini diberi mantera. Lama-kelamaan bambu ini terasa berat hingga orang-orang yang memegangnya berjatuhan ke tanah. Tidak hanya berat, bambu ini bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan musik. Pelaksanaannya biasanya diiringi dengan musik perkusi.
2. Tari Lenso
Tari Lenso adalah salah satu tarian tradisional dari daerah Maluku. Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh para penari wanita dengan menggunakan sapu tangan atau selendang sebagai ciri khas dan atribut menarinya. Tari Lenso merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Maluku dan sering ditampilkan di berbagai acara yang bersifat adat, hiburan, maupun pertunjukan seni budaya.
3. Tari Cakalele
Cakalele adalah tarian perang tradisional Maluku yang digunakan untuk menyambut tamu ataupun dalam perayaan adat. Biasanya, tarian ini dibawakan oleh 30 pria dan wanita. Tarian ini dilakukan secara berpasangan dengan iringan musik drum, flute, bia (sejenis musik tiup).
Para penari pria biasanya mengenakan parang dan salawaku (perisai) sedangkan penari wanita menggunakan lenso (sapu tangan). Penari pria mengenakan kostum yang didominasi warna merah dan kuning, serta memakai penutup kepala aluminum yang disisipi dengan bulu putih. Kostum celana merah pada penari pria melambangkan kepahlawanan, keberanian, dan patriotisme rakyat Maluku. Pedang atau parang pada tangan kanan penari melambangkan martabat penduduk Maluku yang harus dijaga sampai mati, sedangkan perisai dan teriakan keras para penari melambangkan gerakan protes melawan sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak pada rakyat. Sumber lain menyatakan bahwa tarian ini merupakan penghormatan atas nenek moyang bangsa Maluku yang merupakan pelaut. Sebelum mengarungi lautan untuk membajak pesawat, nenek moyang mereka mengadakan pesta dengan makan, minum, dan berdansa. Saat tari Cakalele ditampilkan, terkadang arwah nenek moyang dapat memasuki penari dan kehadiran arwah tersebut dapat dirasakan oleh penduduk asli.
4. Tari Saureka
Tari Saureka Reka adalah salah satu tarian tradisional sejenis tarian pergaulan yang berasal dari Maluku. Tarian ini biasa dilakukan oleh para muda-mudi, dimana para laki-laki memainkan gaba-gaba dan para perempuan menari dan menghindari gaba-gaba tersebut. Gaba-gaba sendiri merupakan bilah pohon sagu yang digunakan sebagai properti menari dan sekaligus menjadi musik pengiring tarian ini. Tari Saureka Reka merupakan salah satu kesenian dan permainan tradisional yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Maluku dan sering ditampilkan di berbagai acara adat maupun hiburan.
5. Tari Katreji
Tari Katreji adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Maluku. Tarian ini biasanya dilakukan secara berpasangan antara penari pria dan penari wanita. Tari Katreji merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Maluku. Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara adat maupun hiburan seperti penyambutan tamu penting, pernikahan adat, perayaan hari besar, dan lain-lain.
VII. Lagu Daerah
Lagu daerah atau musik daerah atau lagu kedaerahan, adalah lagu atau musik yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias noname. Lagu daerah asal Maluku diantaranya :
1. Ambon Manise
2. Ayo Mama
3. Buka Pintu
4. Burung Kakatua
5. Burung Tantina
6. Goro Goro Ne
7. Gunung Salahutu
8. Hela Rotan
9. Huhatee
10. Kole-Kole
11. Lembe-lembe
12. Mande-mande
13. Naik-Naik Ke Puncak Gunung
14. Nona Manis Siapa Yang Punya
15. O Ulate
16. Ole Sioh
17. Rasa Sayange
18. Sarinande
19. Saule
20. Sayang Kene
21. Siwalima Arika
22. Sudah Berlayar
23. Tanase
24. Toki Tifa
25. Waktu Hujan Sore-sore
26.
VIII. Alat Musik
Identitas musik Indonesia mulai terbentuk ketika budaya Zaman Perunggu bermigrasi ke Nusantara pada abad ketiga dan kedua Sebelum Masehi. Musik-musik suku tradisional Indonesia umumnya menggunakan instrumen perkusi, terutama gendang dan gong. Beberapa berkembang menjadi musik yang rumit dan berbeda-beda, seperti alat musik petik sasando dari Pulau Rote, angklung dari Jawa Barat, dan musik orkestra gamelan yang kompleks dari Jawa dan Bali. Alat music khas Maluku diantaranya :
1. Tifa
Tifa adalah alat musik tradisional Maluku yang juga dikenal di Papua dengan nama yang sama. Bentuknya seperti gendang panjang menghasilkan suara ritmis saat dimainkan. Tifa termasuk alat musik perkusi yang dimainkan pada saat pesta sebagai pengiring tari-tarian. Tifa terbuat dari kayu dengan ujung semakin meruncing. Karena bentuknya ini, instrumen ini menghasilkan suara ketipung yang nyaring. Ditambang dengan membran dari kulit kambing, tifa menjadi wajib untuk selalu ada sebagai pengiring. Yang membedakan tifa Maluku dan tifa Papua terletak pada bentuk ukirannya. Tifa Maluku biasanya polos tanpa ukiran, sementara tifa Papua sarat dengan hiasan etnik.
2. Korno
Selanjutnya adalah Tahuri yang dalam Budaya Papua juga disebut dengan nama Fu. Instrumen tiup yang terbuat dari keran ini menghasilkan bunyi yang sangat nyaring. Biasanya ia dimainkan saat memulai suatu lomba atau acara. Dahulu Tahuri juga digunakan masyarakat pesisir sebagai alat komunikasi antar orang perorangan atau antara raja dengan rakyat. Beberapa masyarakat pesisir di Kepulauan Maluku juga menyebutnya dengan nama Korno.
3. Arababu
Arbabu adalah rebab tradisional khas Maluku yang terbuat dari bahan-bahan alam yang sangat sederhana. Instrumen ini sama seperti rebab pada umumnya, yaitu digesek menggunakan alat khusus. Arbabu dibuat dari tempurung kelapa, kulit hewan, kayu, sementara dawainya dibuat dari serat pohon pisang.
4. Totobuang
Totobuang dalam bahasa Indonesia berarti tetabuhan. Alat musik tradisional Maluku ini berupa sebuah gong kecil yang terbuat dari logam kuningan. Ada 12-14 gong dalam totobuang dengan ukuran berbeda, masing-masing menghasilkan nada-nada melodis saat dipukul menggunakan kayu. Totobuang jarang dimainkan secara tunggal. Ia biasanya mengiringi bunyi-bunyian dari alat musik lain seperti tifa atau arababu.
IX. Senjata Tradisional
Parang Salawaku terdiri dari Parang (pisau panjang) dan Salawaku (perisai) yang pada masa lalu adalah senjata yang digunakan untuk berperang. Di lambang pemerintah kota Ambon, dapat dijumpai pula Parang Salawaku. Bagi masyarakat Maluku, Parang dan Salawaku adalah simbol kemerdekan rakyat. Senjata ini dapat disaksikan pada saat menari CakaleleParang dibuat dari besi yang ditempa dengan ukuran bervariasi, biasanya antara 90-100 cm. Pegangan parang terbuat darikayu besi atau kayu gapusa. Sementara itu, salawaku dibuat dari kayu keras yang dihiasi kulit kerang .
X. Makanan
Masakan Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi berasal dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000 pulau dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh melalui perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.
Di Maluku sendiri, makanan pokok yang dibiasanya dikonsumsi oleh masyarakat Maluku adalah sagu dan singkong. Sedangkan untuk lauk, masyarakat Maluku terbiasa mengkonsumsi ikan laut. Terdapat beberapa masakan khas daerah Maluku yang unik dan mempunyai rasa yang tak kalah enak dengan masakan lainnya, diantaranya :
1. Papeda
Papeda merupakan makanan khas Maluku dan khas Papua. Papeda terbuat dari sagu yang yang telah rendam dengan air dan diseduh dengan air panas. Papeda merupakan bubur sagu khas Maluku. Papeda berwarna putih bening dan teksturnya agak lengket mirip lem dengan rasa yang tawar. Dalam memakan papeda, masyarakat Maluku menyajikannya dengan ikan kuah kuning ataupun ikan kuah bening. Papeda sendiri merupakan makanan yang mengandung banyak nutrisi dan merupakan makanan kaya akan serat dan rendah kolestrol.
2. Ikan Kuah Kuning
Ikan kuah kuning merupakan salah satu makanan khas Maluku. Dimana ikan ini terbuat dari ikan tongkol, ikan es laut ataupun ikan laut lainnya. Mungkin ikan kuah kuning ini juga biasanya dikonsumsi oleh masyarakat lain selain Maluku. Namun, ikan kuah kuning menjadi ciri khas makanan Maluku, dikarenakan ikan ini disajikan sebagai kuah dari makanan khas Maluku papeda.
3. Ikan Asar
Ikan Asar merupakan salah satu jenis ikan yang hanya ada di Maluku. Ikan ini biasanya dijadikan oleh-oleh untuk para wisatan yang akan balik ke daerahnya masing-masing. Ikan asar ini biasnaya menggunakan ikan Tongkol sebagai bahan utamanya, yang kemudian akan di asapkan selama sehari ataupun beberapa jam tergantung waktu yang dibutuhkan. Ikan ini biasanya dikonsumsi dengan sambal colo-colo.
4. Sambal colo-colo
Sambal colo-colo merupakan salah satu jenis sambal khas Maluku. Dimana sambal ini terbuat dari beberapa bahan mentah yang dicampurkan menjadi satu dengan air jeruk dan sedikit kecap. Bahan mentahnya seperti, bawang merah, cabe rawit, tomat, dan jeruk nipis. Sambal colo-colo ini menjadi teman yang baik untuk disantap saat memakan ikan bakar ataupun ikan asar.
5. Halua Kenari
Halua kenari merupakan salah satu oleh-oleh khas Maluku. Bentuknya yang seperti permen, menjadikan halua kenari sebagai cemilan manis khas Maluku.
6. Sagu Tumbu
Sagu tumbu merupakan salah satu jajanan dan oleh-oleh khas daerah Maluku. Sagu tumbu terbuat dari sagu yang telah dihaluskan dan dicampurkan dengan gula merah cair kemudian dibentuk memanjang. Sagu tumbu mempunyai rasa yang manis dan teksturnya seperti memakan sagu halus lainnya.
7. Rujak
Rujak merupakan salah satu jajanan favorit yang wajib di nikmati saat berlibur ke Maluku. Rujak ini biasanya dijual di kisaran pantai di Maluku. Seperti rujak lainnya, rujak ini terbuat dari berbagai macam buah-buah yang kemudian di jadikan satu dengan bumbu kacang.
8. Bagea
Bagea merupakan salah satu jajanan dan oleh-oleh khas Maluku dan Maluku Utara. Bagea di Maluku yang terkenal merupakan Bagea Kenari.
Sumber :
· All Photos credits to owner (Pictures get from google)
· https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya · https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia · https://id.wikipedia.org/wiki/Maluku · https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Maluku · https://id.wikipedia.org/wiki/Bambu_Gila · http://www.negerikuindonesia.com/2015/11/tari-katreji-tarian-tradisional-dari.html
· http://www.negerikuindonesia.com/2015/11/tari-lenso-tarian-tradisional-dari.html
· http://www.negerikuindonesia.com/2015/11/tari-saureka-reka-tarian-tradisional.html
· http://www.kebudayaanindonesia.com/2014/04/kebudayaan-maluku.html
· https://id.wikipedia.org/wiki/Cakalele · https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_lagu_daerah_Indonesia · http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1092/pakaian-adat-maluku · https://aslanpress.wordpress.com/2016/01/05/makalah-kebudayaan-maluku/ · http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/08/alat-musik-tradisional-maluku.html
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Wujud kebudayaan daerah Indonesia sendiri tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan Indonesia apabila di bagi berdasarkan jenisnya, akan dilihat dari unsur : Rumah Adat, Tradisi Adat, Tarian, Lagu, Alat Musik, Pakaian Adat dan Makanan.
Salah satu kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Maluku. Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku merupakan sekelompok pulau yang menjadi bagian dari Nusantara. Maluku berbatasan dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan Palau di timur laut. Ibu kota Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan sebagai Ambon Manise. Jumlah penduduk provinsi ini tahun 2010 dalam hasil sensus berjumlah 1.533.506 jiwa. Maluku memiliki 2 agama utama yaitu agama Islam yang dianut 50,61 % penduduk Maluku dan agama Kristen (baik Protestan maupun Katolik) yang dianut 48,4 % penduduk Maluku. Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.
I. Rumah Adat
Rumah Adat merupakan bangunan yang memiliki ciri khas khusus, yang digunakan sebagai tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah Adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam suatu komunitas ataupun masyarakat. Rumah adat Maluku sendiri dinamakan Baileo.
Rumah adat Baileo biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan, musyawarah dan upacara adat yang disebut Saniri Negeri. Rumah Baileo ini merupakan jenis rumah panggung. Atap Rumah Baileo berukuran besar dan tinggi yang terbuat dari daun rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari tangkai rumbai. Namun, pada saat ini dapat dilihat bahwa rumah Baileo menggunakan material bangunan sebagian besar berbahan dasar kayu, kokoh dengan cukup banyak ornamen, ukiran yang menghiasi seluruh bagian dari rumah tersebut.
II. Pakaian Adat
Pakaian adat adalah simbol sandang pada suatu daerah yang memiliki identitas dan diciri khas kan sebagai simbol kebudayaan suatu daerah. Pakaian adat biasanya digunakan untuk memperingati hari besar seperti kelahiran, penikahan, kematian ataupun hari-hari besar keagamaan.
Pakaian adat Maluku yang dikenal dengan nama baju cele atau kain salele adalah pakaian adat dengan nilai estetis dan filosofis tinggi. Meski sederhana dan secara penggunaan tidak serumit pakaian adat dari provinsi lain di Indonesia, pakaian adat Maluku ini dianggap mewakili karakteristik adat suku-suku di Kepulauan Maluku yang khas.
Ciri-ciri dari baju Cele ini terlihat dari motif garis-garis yang geometris/berkotak-kotak kecil. Baju cele ini biasanya dikombinasikan dengan kain sarung yang warnanya tidak terlalu jauh berbeda, harus seimbang dan serasi dan di kombinasi dengan kain yang pelekat yang disalele yaitu disarung dari luar dilapisi sampai batas lutut dan dipakai Lenso (sapu tangan yang diletakan di pundak). Pakaian ini dipakai tanpa pengalas kaki atau boleh juga pakai selop. Konde/sanggul yaitu konde bulan yang diperkuat lagi dengan tusukan konde yang disebut haspel yang terbuat dari emas atau perak. Selain itu ada juga, Baju Nona Rok. Dimana, baju tersebut terdiri dari kebaya putih tangan panjang berlengan kancing dari jenis kain Brokar halus. Pengikat pinggang terbuat dari perak yang disebut pending. Pada bagian bawah mungkin sedikit modern yakni memakai Sepatu vantovel berwarna hitam dan berkaos kaki putih. Selain itu pada pakaian perempuan mengenakan Rok yang dibuat/dijahit lipit kecil sekali dari jenis kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange. Seperti halnya orang Jawa Pada, pada bagain atas perempuan menggunakan konde yang dibuat dari rambut asli atau konde palsu yang siap dipakai yaitu konde Bulan. Selain itu ada juga bagian-bagain perlengkapan konde sebagai berikut:
· Tusuk konde disebut Haspel yang dibuat dari emas atau perak.
· Kak kuping 4 buah ditusuk pada lingkaran konde bentuknya seperti kembang terbuat dari perak atau emas.
· Sisir Konde diletakan pada bagian tengah dari konde tersebut dibuat juga dari emas atau perak.
· Bunga Ron dilingkar pada konde tersebut dibuat dari bahan gabus atau Papeceda.
Sebagain besar pakaian adat hanya membuat bagian luarnya saja. Di Maluku tidak hanya membuat pakain luar, namun ada juga yang menjadi ciri khas pakaian Maluku yaitu memperhatikan pakaian dalam juga. Berikut bagian-bagian pakaian dalam seperti Cole, yaitu baju dalam atau disebut kutang yang dipakai/digunakan sebelum memakai kebaya. Ada Cole berlengan panjang tapi ada juga Cole berlengan pendek dan pada bagian atasnya diberi renda border. Cole sendiri terbuat dari kain putih, sedangkan bagian belakang dari Cole tersebut disebut belakang cole dibordir bagian belakang. Sedangkain pada bagian depan, Cole memakai kancing dan pada bagian ujung lengan diberi renda bordir. Selain itu pada golongan menengah atau orang-orang terpelajar dan keluarga goolongan pemerintahan seperti guru, pendeta. Pakaian ini disebut pakaian Nona Rok. Pakaian ini dipakai pada acara-acara penting yaitu pesta perkawianan acara kenegaraan dan lain-lain.
III. Bahasa
Bahasa yang digunakan di Provinsi Maluku adalah Bahasa Ambon, yang merupakan salah satu dari rumpun bahasa Melayu timur yang dikenal sebagai bahasa dagang atau trade language. Bahasa yang dipakai di Maluku terkhusus di Ambon sedikit banyak telah dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing, bahasa-bahasa bangsa penjelajah yang pernah mendatangi, menyambangi, bahkan menduduki dan menjajah negeri/tanah Maluku pada masa lampau. Bangsa-bangsa itu ialah bangsa Spanyol, Portugis, Arab, dan Belanda. Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia, Provinsi Maluku dan Maluku Utara menyusun sebuah big islands yang dinamai Kepulauan Maluku. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini.
Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia, Provinsi Maluku dan Maluku Utara menyusun sebuah big islands yang dinamai Kepulauan Maluku. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini. Beberapa bahasa yang paling umum dipetuturkan di Maluku yaitu:
· Bahasa Wemale, dipakai penduduk Negeri Piru, Seruawan, Kamarian, dan Rumberu (Kabupaten Seram Bagian Barat).
· Bahasa Alune, dipakai di wilayah tiga batang air yaitu Tala, Mala, dan Malewa di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat.
· Bahasa Nuaulu, dituturkan oleh suku Nuaulu di Pulau Seram Selatan yaitu antara Teluk Elpaputi dan Teluk Teluti.
· Bahasa Atiahu, dipakai oleh tiga negeri yang juga termasuk rumpun Nuaulu yakni Negeri Atiahu, Werinama, dan Batuasa di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.
· Bahasa Koa, dituturkan di wilayah pegunungan tengah Pulau Seram yaitu sekitar Manusela dan Gunung Kabauhari.
· Bahasa Seti dituturkan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Teluti Timur, merupakan bahasa dagang di Seram Bagian Timur.
· Bahasa Gorom merupakan turunan dari bahasa Seti dan dipakai oleh penduduk beretnis atau bersuku Gorom yang berdiam di kabupaten Seram Bagian Timur yang menyebar sampai Kepulauan Watubela dan Maluku Tenggara.
· Bahasa Tarangan merupakan bahasa pemersatu dan dipakai oleh penduduk wilayah Pulau Aru dengan ibu kota Kab. Dobo Maluku Tenggara.
Tiga bahasa yang hampir punah adalah Palamata dan Moksela serta Hukumina. Ratusan bahasa di atas dipersatukan oleh sebuah bahasa pengantar yang telah menjadi lingua franca sejak lama yaitu Bahasa Ambon. Sebelum bangsa-bangsa asing (Arab, Cina, Spanyol, Portohis, Wolanda, dan Inggris) menginjakkan kakinya di Maluku, bahasa-bahasa asli Maluku tersebut sudah hidup setidaknya ribuan tahun dan menjadi bahasa-bahasa dari keluarga atau rumpun paling barat keluarga bahasa-bahasa Pasifik/Melansia (bahasa Papua-Melanesoid)
IV. Agama
Penduduk Maluku menganut 3 agama utama yaitu Islam sebanyak 50,61%, Kristen Protestan sebanyak 41,40%, dan Katolik sebanyak 6,76% penduduk. Penyebaran agama Islam dilakukan oleh Kesultanan Iha, Saulau, Hitu, dan Hatuhaha serta pedagang Arab yang mengunjungi Maluku. Sementara penyebaran agama Kristen dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2013 tercatat yaitu sebagai berikut:
· Masjid sebanyak hampir 2 ribu buah
· Gereja sebanyak 2.345 buah
· Pura sebanyak 10 buah
· Vihara sebanyak 5 buah.
Gereja Protestan Maluku atau biasa dikenal sebagai GPM merupakan organisasi sinode dan pertubuhan gereja terbesar yang ada di Maluku, yang memiliki jemaat gereja di hampir seluruh negeri Sarane di seluruh Maluku.
V. Tradisi Adat
1. Budaya Hawear
Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun. Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya. Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar). Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan. Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya. Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.
2. Batu Pamali
Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo, rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku. Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat. Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa.
3. Upacara Fangnea Kidabela
Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela. Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.
Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena. Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah. Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat.
4. Budaya Arumbae
Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan. Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur dari pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara. Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.
5. Sasahil dan Nekora
Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri Siri Sori Kristen di pulau Saparua. Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga. Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan proses pelaksanaan. Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara dengan baik. Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang.
VI. Tarian
Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Terdapat lebih dari 700 suku bangsa di Indonesia: dapat terlihat dari akar budaya bangsa Austronesia dan Melanesia, dipengaruhi oleh berbagai budaya dari negeri tetangga di Asia bahkan pengaruh barat yang diserap melalui kolonialisasi. Tarian asal Maluku sendiri diketahui sangat banyak dan beragam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tarian Bambu Gila
Atraksi Bambu Gila, sebuah permainan rakyat yang berasal dari Maluku. Permainan ini melibatkan kekuatan supranatural untuk menjalankannya, walaupun tidak diperlukan ritual tertentu. Sebatang bambu dipegang oleh beberapa orang, lalu oleh seorang dukun bambu ini diberi mantera. Lama-kelamaan bambu ini terasa berat hingga orang-orang yang memegangnya berjatuhan ke tanah. Tidak hanya berat, bambu ini bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan musik. Pelaksanaannya biasanya diiringi dengan musik perkusi.
2. Tari Lenso
Tari Lenso adalah salah satu tarian tradisional dari daerah Maluku. Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh para penari wanita dengan menggunakan sapu tangan atau selendang sebagai ciri khas dan atribut menarinya. Tari Lenso merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Maluku dan sering ditampilkan di berbagai acara yang bersifat adat, hiburan, maupun pertunjukan seni budaya.
3. Tari Cakalele
Cakalele adalah tarian perang tradisional Maluku yang digunakan untuk menyambut tamu ataupun dalam perayaan adat. Biasanya, tarian ini dibawakan oleh 30 pria dan wanita. Tarian ini dilakukan secara berpasangan dengan iringan musik drum, flute, bia (sejenis musik tiup).
Para penari pria biasanya mengenakan parang dan salawaku (perisai) sedangkan penari wanita menggunakan lenso (sapu tangan). Penari pria mengenakan kostum yang didominasi warna merah dan kuning, serta memakai penutup kepala aluminum yang disisipi dengan bulu putih. Kostum celana merah pada penari pria melambangkan kepahlawanan, keberanian, dan patriotisme rakyat Maluku. Pedang atau parang pada tangan kanan penari melambangkan martabat penduduk Maluku yang harus dijaga sampai mati, sedangkan perisai dan teriakan keras para penari melambangkan gerakan protes melawan sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak pada rakyat. Sumber lain menyatakan bahwa tarian ini merupakan penghormatan atas nenek moyang bangsa Maluku yang merupakan pelaut. Sebelum mengarungi lautan untuk membajak pesawat, nenek moyang mereka mengadakan pesta dengan makan, minum, dan berdansa. Saat tari Cakalele ditampilkan, terkadang arwah nenek moyang dapat memasuki penari dan kehadiran arwah tersebut dapat dirasakan oleh penduduk asli.
4. Tari Saureka
Tari Saureka Reka adalah salah satu tarian tradisional sejenis tarian pergaulan yang berasal dari Maluku. Tarian ini biasa dilakukan oleh para muda-mudi, dimana para laki-laki memainkan gaba-gaba dan para perempuan menari dan menghindari gaba-gaba tersebut. Gaba-gaba sendiri merupakan bilah pohon sagu yang digunakan sebagai properti menari dan sekaligus menjadi musik pengiring tarian ini. Tari Saureka Reka merupakan salah satu kesenian dan permainan tradisional yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Maluku dan sering ditampilkan di berbagai acara adat maupun hiburan.
5. Tari Katreji
Tari Katreji adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Maluku. Tarian ini biasanya dilakukan secara berpasangan antara penari pria dan penari wanita. Tari Katreji merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Maluku. Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara adat maupun hiburan seperti penyambutan tamu penting, pernikahan adat, perayaan hari besar, dan lain-lain.
VII. Lagu Daerah
Lagu daerah atau musik daerah atau lagu kedaerahan, adalah lagu atau musik yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias noname. Lagu daerah asal Maluku diantaranya :
1. Ambon Manise
2. Ayo Mama
3. Buka Pintu
4. Burung Kakatua
5. Burung Tantina
6. Goro Goro Ne
7. Gunung Salahutu
8. Hela Rotan
9. Huhatee
10. Kole-Kole
11. Lembe-lembe
12. Mande-mande
13. Naik-Naik Ke Puncak Gunung
14. Nona Manis Siapa Yang Punya
15. O Ulate
16. Ole Sioh
17. Rasa Sayange
18. Sarinande
19. Saule
20. Sayang Kene
21. Siwalima Arika
22. Sudah Berlayar
23. Tanase
24. Toki Tifa
25. Waktu Hujan Sore-sore
26.
VIII. Alat Musik
Identitas musik Indonesia mulai terbentuk ketika budaya Zaman Perunggu bermigrasi ke Nusantara pada abad ketiga dan kedua Sebelum Masehi. Musik-musik suku tradisional Indonesia umumnya menggunakan instrumen perkusi, terutama gendang dan gong. Beberapa berkembang menjadi musik yang rumit dan berbeda-beda, seperti alat musik petik sasando dari Pulau Rote, angklung dari Jawa Barat, dan musik orkestra gamelan yang kompleks dari Jawa dan Bali. Alat music khas Maluku diantaranya :
1. Tifa
Tifa adalah alat musik tradisional Maluku yang juga dikenal di Papua dengan nama yang sama. Bentuknya seperti gendang panjang menghasilkan suara ritmis saat dimainkan. Tifa termasuk alat musik perkusi yang dimainkan pada saat pesta sebagai pengiring tari-tarian. Tifa terbuat dari kayu dengan ujung semakin meruncing. Karena bentuknya ini, instrumen ini menghasilkan suara ketipung yang nyaring. Ditambang dengan membran dari kulit kambing, tifa menjadi wajib untuk selalu ada sebagai pengiring. Yang membedakan tifa Maluku dan tifa Papua terletak pada bentuk ukirannya. Tifa Maluku biasanya polos tanpa ukiran, sementara tifa Papua sarat dengan hiasan etnik.
2. Korno
Selanjutnya adalah Tahuri yang dalam Budaya Papua juga disebut dengan nama Fu. Instrumen tiup yang terbuat dari keran ini menghasilkan bunyi yang sangat nyaring. Biasanya ia dimainkan saat memulai suatu lomba atau acara. Dahulu Tahuri juga digunakan masyarakat pesisir sebagai alat komunikasi antar orang perorangan atau antara raja dengan rakyat. Beberapa masyarakat pesisir di Kepulauan Maluku juga menyebutnya dengan nama Korno.
3. Arababu
Arbabu adalah rebab tradisional khas Maluku yang terbuat dari bahan-bahan alam yang sangat sederhana. Instrumen ini sama seperti rebab pada umumnya, yaitu digesek menggunakan alat khusus. Arbabu dibuat dari tempurung kelapa, kulit hewan, kayu, sementara dawainya dibuat dari serat pohon pisang.
4. Totobuang
Totobuang dalam bahasa Indonesia berarti tetabuhan. Alat musik tradisional Maluku ini berupa sebuah gong kecil yang terbuat dari logam kuningan. Ada 12-14 gong dalam totobuang dengan ukuran berbeda, masing-masing menghasilkan nada-nada melodis saat dipukul menggunakan kayu. Totobuang jarang dimainkan secara tunggal. Ia biasanya mengiringi bunyi-bunyian dari alat musik lain seperti tifa atau arababu.
IX. Senjata Tradisional
Parang Salawaku terdiri dari Parang (pisau panjang) dan Salawaku (perisai) yang pada masa lalu adalah senjata yang digunakan untuk berperang. Di lambang pemerintah kota Ambon, dapat dijumpai pula Parang Salawaku. Bagi masyarakat Maluku, Parang dan Salawaku adalah simbol kemerdekan rakyat. Senjata ini dapat disaksikan pada saat menari CakaleleParang dibuat dari besi yang ditempa dengan ukuran bervariasi, biasanya antara 90-100 cm. Pegangan parang terbuat darikayu besi atau kayu gapusa. Sementara itu, salawaku dibuat dari kayu keras yang dihiasi kulit kerang .
X. Makanan
Masakan Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi berasal dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000 pulau dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh melalui perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.
Di Maluku sendiri, makanan pokok yang dibiasanya dikonsumsi oleh masyarakat Maluku adalah sagu dan singkong. Sedangkan untuk lauk, masyarakat Maluku terbiasa mengkonsumsi ikan laut. Terdapat beberapa masakan khas daerah Maluku yang unik dan mempunyai rasa yang tak kalah enak dengan masakan lainnya, diantaranya :
1. Papeda
Papeda merupakan makanan khas Maluku dan khas Papua. Papeda terbuat dari sagu yang yang telah rendam dengan air dan diseduh dengan air panas. Papeda merupakan bubur sagu khas Maluku. Papeda berwarna putih bening dan teksturnya agak lengket mirip lem dengan rasa yang tawar. Dalam memakan papeda, masyarakat Maluku menyajikannya dengan ikan kuah kuning ataupun ikan kuah bening. Papeda sendiri merupakan makanan yang mengandung banyak nutrisi dan merupakan makanan kaya akan serat dan rendah kolestrol.
2. Ikan Kuah Kuning
Ikan kuah kuning merupakan salah satu makanan khas Maluku. Dimana ikan ini terbuat dari ikan tongkol, ikan es laut ataupun ikan laut lainnya. Mungkin ikan kuah kuning ini juga biasanya dikonsumsi oleh masyarakat lain selain Maluku. Namun, ikan kuah kuning menjadi ciri khas makanan Maluku, dikarenakan ikan ini disajikan sebagai kuah dari makanan khas Maluku papeda.
3. Ikan Asar
Ikan Asar merupakan salah satu jenis ikan yang hanya ada di Maluku. Ikan ini biasanya dijadikan oleh-oleh untuk para wisatan yang akan balik ke daerahnya masing-masing. Ikan asar ini biasnaya menggunakan ikan Tongkol sebagai bahan utamanya, yang kemudian akan di asapkan selama sehari ataupun beberapa jam tergantung waktu yang dibutuhkan. Ikan ini biasanya dikonsumsi dengan sambal colo-colo.
4. Sambal colo-colo
Sambal colo-colo merupakan salah satu jenis sambal khas Maluku. Dimana sambal ini terbuat dari beberapa bahan mentah yang dicampurkan menjadi satu dengan air jeruk dan sedikit kecap. Bahan mentahnya seperti, bawang merah, cabe rawit, tomat, dan jeruk nipis. Sambal colo-colo ini menjadi teman yang baik untuk disantap saat memakan ikan bakar ataupun ikan asar.
5. Halua Kenari
Halua kenari merupakan salah satu oleh-oleh khas Maluku. Bentuknya yang seperti permen, menjadikan halua kenari sebagai cemilan manis khas Maluku.
6. Sagu Tumbu
Sagu tumbu merupakan salah satu jajanan dan oleh-oleh khas daerah Maluku. Sagu tumbu terbuat dari sagu yang telah dihaluskan dan dicampurkan dengan gula merah cair kemudian dibentuk memanjang. Sagu tumbu mempunyai rasa yang manis dan teksturnya seperti memakan sagu halus lainnya.
7. Rujak
Rujak merupakan salah satu jajanan favorit yang wajib di nikmati saat berlibur ke Maluku. Rujak ini biasanya dijual di kisaran pantai di Maluku. Seperti rujak lainnya, rujak ini terbuat dari berbagai macam buah-buah yang kemudian di jadikan satu dengan bumbu kacang.
8. Bagea
Bagea merupakan salah satu jajanan dan oleh-oleh khas Maluku dan Maluku Utara. Bagea di Maluku yang terkenal merupakan Bagea Kenari.
Sumber :
· All Photos credits to owner (Pictures get from google)
· https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya · https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia · https://id.wikipedia.org/wiki/Maluku · https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Maluku · https://id.wikipedia.org/wiki/Bambu_Gila · http://www.negerikuindonesia.com/2015/11/tari-katreji-tarian-tradisional-dari.html
· http://www.negerikuindonesia.com/2015/11/tari-lenso-tarian-tradisional-dari.html
· http://www.negerikuindonesia.com/2015/11/tari-saureka-reka-tarian-tradisional.html
· http://www.kebudayaanindonesia.com/2014/04/kebudayaan-maluku.html
· https://id.wikipedia.org/wiki/Cakalele · https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_lagu_daerah_Indonesia · http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1092/pakaian-adat-maluku · https://aslanpress.wordpress.com/2016/01/05/makalah-kebudayaan-maluku/ · http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/08/alat-musik-tradisional-maluku.html
7 Alat Musik Tradisional Maluku, Gambar, dan Penjelasannya | Adat Tradisional
BERTUMBUH DEWASA SECARA ROHANI
Efesus 4:11-16
Tuhan Yesus memiliki harapan dan tujuan yang luar biasa bagi umatNya. Ia ingin agar semua anak-anakNya bertumbuh mencapai kedewasaan yang penuh yaitu Kepenuhan Kristus (Ef. 4:13). Kedewasaan rohani merupakan hasil dari pembentukan karakter yang dilakukan oleh Allah seumur hidup kita.
Ciri-ciri orang yang dewasa rohani:
1.Mengenal Allah lebih mendalam (Fil. 3:10,8).
Pengenalan akan Allah adalah salah satu hal yang paling utama. Pengenalan ini bukan cuma secara pengetahuan (otak) saja. Melainkan pengenalan secara hubungan. Pengenalan ini merupakan pengenalan dari hati ke hati yang menghasilkan perubahan dan penyerahan tanpa batas. Bagaimana caranya agar Anda dapat mengenalNya secara mendalam?
2. Hidup yang menghasilkan buah (Yoh. 15:5).
Yesus adalah pokok anggur dan kita adalah ranting-rantingnya. Ia mau kita berbuah. Buah yang dimaksudkan diantaranya: Buah Roh, buah pelayanan dan buah jiwa-jiwa yang diselamatkan (lewat kesaksian/penginjilan). Hanya orang yang melekat pada Kristus dan yang mau terus dibersihkan yang dapat terus berbuah (Yoh 15:2-4). Buah apa saja yang sudah Anda hasilkan? Usaha apa yang akan Anda lakukan untuk menghasilkan buah di tahun ini?
3. Hidup untuk memberi dan melayani.
Orang Kristen dewasa meneladani Yesus yang datang ke dunia untuk melayani dan memberikan nyawaNya (Mark. 10:45). Mereka juga mempraktekkan ajaran Kristus: "Adalah terlebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis. 20:35). Orang Kristen dewasa selalu berprinsip: Aku diberkati untuk memberkati sesama.
4. Menjalani proses Allah (Ibrani 12:11).
Proses pembentukan Allah biasanya menyakitkan. Hal ini Tuhan ijinkan agar yang keras hati dapat berubah menjadi lembut, yang angkuh menjadi rendah hati dan yang memberontak menjadi taat (Ul 8:2-3). Semua didikan dan disiplin ini seharusnya kita terima dengan sukacita dan bersyukur, bukan dengan bersungut-sungut. Ceritakan pengalaman Anda tentang hal ini?
S4 – Sasaran dan Rencana (10 menit)
Sadarilah bahwa tujuan Tuhan bagi kita bukan sekedar agar kita diberkati, tetapi agar setiap kita mencapai kedewasaan penuh seperti Dia. Buatlah target, karakter dan sifat apa saja yang ingin Anda tinggalkan dan hal-hal apa saja yang Anda ingin tingkatkan.
Jumat, 30 Juni 2017
Sejarah Suku Kei
LARWUL NGABAL (HUKUM ADAT DI KEPULAUAN KEI)
“Jika hidup dan kehidupan kita di dunia ini berbuat baik menurut hukum adat dan agama kita, maka kita akan memperoleh bantuan dari suatu kekuatan yang tidak kita ketahui, yang akan menghantarkan kita tetap melangkah ke depan sampai ke tujuan dengan selamat (J.P. Rahail)”
PENDAHULUAN
Kepulauan Kei (Evav) adalah gugusan pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dengan ibukotanya bernama Tual (kini telah dimekarkan menjadi Kota Tual). Terdiri sekitar 100 pulau yang terbagi dalam 5 (lima) kelompok gugus pulau-pulau, yaitu Kei Besar (Nuhu Yuut), Kei Kecil (Nuhu Roa), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Tayando (Tahayad) dan Kur. Wilayah daratan secara keseluruhan seluas 24.958 km2 sedangkan wilayah lautan tidak kurang dari 190.000 km2. Secara astronomi terletak antara 5005’-6004’ LS dan 131055’-133013’ BT sedangkan secara geografis sebelah barat berbatasan dengan gugusan Kepulauan Tanimbar (Kabupaten Maluku Tenggara Barat), sebelah timur dengan gugusan Kepulauan Aru (Kabupaten Kepulauan Aru), sebelah utara dengan daratan besar Papua dan sebelah selatan dengan Australia.
Struktur tanah di Kepulauan Kei berbatu-batu dan tandus. Batu dalam Bahasa Portugis disebut “kayos”, sehingga Bangsa Portugis yang singgah pada zaman dahulu menamakannya Pulau Kei. Tanah putih mendominasi struktur tanah di Kepulauan Kei. Semua pantai berpasir putih dengan lambaian pohon nyiur. Pasir putih di Pantai Pasir Panjang yang terletak di Desa Ngilngof diklaim oleh pemda setempat sebagai paling lembut di dunia. Dalam pengamatan penulis, dibandingkan dengan banyak pantai lain yang pernah penulis temui, pantai-pantai di Kepulauan Kei adalah yang terindah dan alami.
Tanah merah yang subur jarang ditemui di Kepulauan Kei. Oleh karena itu sangat jarang masyarakat Kei mengusahakan tanaman pertanian atau perkebunan kecuali jenis umbi-umbian. Utamanya embal, yaitu sejenis singkong beracun yang kemudian diolah dan menjadi makanan pokok masyarakat setempat. Hampir semua barang kebutuhan pokok, baik berupa beras, sayur-sayuran ataupun buah-buahan didatangkan dari Jawa, Ambon, Makasar atau Papua sehingga barang-barang kebutuhan berharga beberapa kali lipat dibandingkan dengan di tempat asalnya. Akan tetapi di Kepulauan Kei potensi ikan cukup melimpah, dengan struktur pantai yang landai menjadikan daerah pasang surut sangat panjang. Saat surut itulah hasil laut seperti ikan, teripang, kerang lola (trochus niloticus), dan sejenisnya dapat dengan mudah dipanen oleh masyarakat. Sayang semakin hari hasil laut tersebut semakin sulit didapat seiring rusaknya terumbu karang sebagai akibat penggunaan potasium atau bom oleh para nelayan yang difasilitasi oleh para pengusaha ikan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sosial budaya masih sangat kental dipengaruhi oleh adat yang secara turun temurun telah diikuti dan dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Adat tersebut mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat maupun dengan alam sekitar termasuk laut sebagai sumber pencaharian. Mereka percaya, hidup berbuat baik sesuai hukum adat akan mendapatkan bantuan dari suatu kekuatan yang tidak kita ketahui yang akan menghantarkan sampai tujuan sesuai maksud syair tuturan leluhur yang hingga kini masih biasa didendangkan “Taflur Nit ma Itsob Duad, Oooo hee hoar taur, La I O (2X), La I O, Hoar taur, La I entau taur, Nel U Hoar taur, La I O (2X)”.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat baik pelanggaran pidana maupun perdata diselesaikan melalui mekanisme adat yang ada. Ketaatan masyarakat kepada hukum adat ini dapat dipahami dalam perspektif sosial budaya masyarakat Kei yang mengganggap adanya hubungan religius magis dengan alam sekitarnya. Masyarakat Kei beranggapan penyelesaian terhadap pelanggaran hukum adat dipercaya akan mengembalikan keseimbangan religius magis dengan alam tempat mereka menggantungkan penghidupan yang terganggu sebagai akibat adanya pelanggaran.
Penyelesaian pelanggaran terhadap hukum ini telah terjadi pergeseran seiring munculnya negara modern/hukum modern (positifisme hukum). Namun harus dipahami penyelesaian sengketa perdata di peradilan umum bagi bumiputera (pribumi) tunduk pada hukum adat (Pasal 131 Jo. 163 IS). Oleh karenanya pemahaman terhadap hukum adat yang di kenal dengan Larwul Ngabal mutlak diperlukan dalam penanganan sengketa perdata di Kepulauan Kei agar putusan yang dijatuhkan mencerminkan rasa keadilan masyarakat (sense of the justice of the people).
FALSAFAH DASAR ADAT KEPULAUAN KEI
Masyarakat patrilinial di Kepulauan Kei mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat. “Vu’ut Ain Mehe Ngifun, Manut Ain Mehe Tilur”, artinya “telur dari satu ikan dan satu burung”. Maksudnya mereka percaya bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Sejak leluhur hingga saat ini, pepatah “ain ni ain”, yang berarti “kita semua adalah satu” masih di pegang teguh dalam sanubari masyarakat Kei. Oleh karena itu walaupun leluhur Suku Kei suka berperang, peperangan tersebut akan cepat selesai setelah jatuhnya beberapa korban.
Falsafah hidup dalam kebersamaan dan keseimbangan dengan alam maupun lingkungan tercermin dari tuturan leluhur yang hingga kini selalu dinasehatkan kepada para anak cucu. Petuah leluhur tersebut diwasiatkan dalam bentuk nyanyian atau peribahasa. Pada intinya adalah hidup dalam suatu tempat/kampung dimana kita makan dan hidup dari tempat itu, maka kita wajib mentaati segala hukum adat agar hukum adat, leluhur dan Allah melindungi kita. Selengkapnya petuah leluhur yang menjadi pokok pandangan hidup masyarakat Kei adalah sebagai berikut :
1. Itdok fo ohoi itmian fo nuhu (kita mendiami/menempati kampung/desa dimana kita hidup dan makan dari alam/tanahnya).
2. Itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir/bemiir (kita menempati tempat kita dan tetap menjinjit bagian kita).
3. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat (kita tetap memikul semua kepentingan kampung/desa kita dengan hukum adatnya).
4. Itwait teblo uban ruran (kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus).
5. Ikbo hukum adat enfangnan enbatang haraang (dengan demikian, barulah hukum adat akan menyayangi/melindungi kita).
6. Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan (sehingga leluhur pun ikut menjaga dan menyayangi kita).
7. Duad enfangnan wuk (dan Allah pun melindungi kita).
TERBENTUKNYA HUKUM LARWUL NGABAL
Larwul Ngabal pada hakikatnya adalah dua hukum yang dipersatukan, yaitu Hukum Larwul dan Hukum Ngabal. Hukum Larwul lahir di Pulau Kei Kecil yang ditandai dengan disembelihnya seekor kerbau milik seorang puteri bernama Dit Sak Mas. Dikisahkan dari tuturan leluhur, di sebuah tempat bernama Elaar telah diadakan pertemuan yang diikuti oleh sembilan kelompok. Pertemuan tersebut dipelopori oleh kakak kandung tertua Dit Sak Mas yang bernama Teb Tut. Agenda pertemuan adalah mencanangkan hukum sebagai respon keprihatinan terhadap dirampasnya barang-barang milik Dit Sak Mas. Kejadiannya adalah ketika Dit Sak Mas dalam perjalanan dari Ohoivuur menuju Danar untuk menjumpai calon suaminya yang bernama Arnuhu, barang-barangnya habis dirampas oleh pembegal. Atas kegagalan tersebut Dit Sak Mas mengulang perjalanan dengan terlebih dahulu meletakkan daun kelapa putih (janur kuning) pada barang bawaannya sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk mengambilnya. Penandaan barang dengan daun kelapa ini kemudian dikenal dengan sebutan sasi (Bahasa Kei : Yot/Yutut). Adat sasi sampai kini masih tetap lestari meskipun sudah mengalami perkembangan dan sering disalahgunakan. Sasi adalah larangan untuk melindungi suatu tempat/barang atau suatu hasil tertentu yang mengikat orang lain/masyarakat untuk mentaatinya.
Hukum yang dicanangkan pada pertemuan sembilan kelompok tersebut kemudian dikenal sebagai Hukum Larwul. Dalam Bahasa Kei “lar” artinya darah dan “wul” artinya merah. Pemilihan istilah larwul ini tidak dapat dilepaskan dari darah kerbau milik Dit Sak Mas yang disembelih pada waktu itu. Peristiwa penyembelihan ini merupakan simbol berlakunya Hukum Larwul. Semua bagian tubuh kerbau yang disembelih dibagikan kepada sembilan kelompok yang hadir pada waktu itu. Sembilan kelompok itu disebut Ur Siu (Rumpun Sembilan).
Di Pulau Kei Besar pada suatu tempat bernama Ler Ohoilim telah dipotong seekor ikan paus dengan menggunakan sebuah tombak dari Bali dan kemudian potongan-potongan tubuh ikan paus dibagikan kepada lima kelompok (Rumpun Lima/Loor Lim) yang hadir pada saat itu. Pemotongan ikan paus dilakukan oleh Jangra, yaitu saudara ayah Dit Sak Mas yang bernama Kasdew. Baik Jangra maupun Kasdew adalah pendatang dari Pulau Bali yang kemudian menetap di Kepulauan Kei. Selanjutnya sejarah adat di Kepulauan Kei banyak terpengaruh oleh budaya Bali yang dibawa oleh kedua orang tersebut.
Peristiwa di Ler Ohoilim ini menandai berlakunya Hukum Ngabal, “nga” artinya tombak sedangkan “bal” adalah singkatan dari Bali. Maksudnya adalah hukum tombak dari Pulau Bali karena berlakunya ditandai dengan dibunuhnya ikan paus dengan menggunakan sebuah tombak yang dibawa dari Pulau Bali oleh Jangra.
Baik Rumpun Sembilan (Ur Siu) yang lahir di Elaar maupun Rumpun Lima (Lor Lim) yang lahir di Ler Ohoilim selalu saling berperang. Oleh karena itu muncul juga satu kelompok yang tidak membela salah satu pihak yang bertikai (non blok) yang disebut dengan Loor Labai. Pada akhirnya kedua kelompok yang bertikai dapat berdamai dan bersepakat menggunakan Hukum Larwul dan Hukum Ngabal secara berdampingan.
Hukum Larwul berisi 4 pasal yang isinya adalah kaidah-kaidah hukum pidana sedangkan Hukum Ngabal berisi 3 pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum kesusilaan dan hukum perdata. Dalam Hukum Larwul Ngabal, Hukum Larwul menempati Pasal 1 s/d 4 sedangkan Hukum Ngabal menempati Pasal 5 s/d 7. Isi selengkapnya Hukum Larwul Ngabal adalah sebagai berikut :
1. Uud entauk atvunad (kepala kita bertumpu pada tengkuk kita). Hal ini adalah penghargaan terhadap pemerintah dan harus dipastikan bahwa pemerintahan adalah untuk melindungi dan menjamin kehidupan masyarakat.
2. Lelad ain fo mahiling (leher kita dihormati, diluhurkan). Maksudnya adalah kehidupan bersifat luhur dan mulia sehingga hidup seseorang harus dipelihara, tidak boleh diganggu.
3. Uil nit enwil rumud (kulit dari tanah membungkus badan kita). Kaidah ini adalah penghargaan terhadap kehormatan, nama baik/harga diri manusia. Oleh karena itu kehormatan orang lain harus diakui dan tidak boleh dicemarkan.
4. Lar nakmot na rumud (darah tertutup dalam tubuh). Tubuh manusia harus dimuliakan sehingga tidak diperkenankan melakukan pembunuhan atau penganiayaan. Perlakuan sewenang-wenang dilarang, apalagi sampai menumpahkan darah dengan melukai orang lain atau diri sendiri.
5. Rek fo kilmutun (perkawinan hendaklah pada tempatnya agar tetap suci dan murni). Kaidah hukum ini adalah penghargaan terhadap kehidupan rumah tangga orang lain. Rumah tangga harus dihormati, tidak boleh diganggu gugat dan tidak boleh ada orang ketiga karena perkawinan adalah kehendak Allah.
6. Morjain fo mahiling (tempat untuk perempuan dihormati, diluhurkan). Kaidah hukum ini adalah penghargaan terhadap perempuan sebagai mahluk yang paling dihormati/dihargai. Penjabarannya adalah pelarangan terhadap segala bentuk tindakan asusila yang mengusik harkat dan martabat perempuan.
7. Hira i ni fo i ni, it did fo it did (milik orang tetap milik mereka, milik kita tetap milik kita). Ini adalah kaidah dasar yang menjamin dan mengakui pemilikan barang oleh orang lain.
Atas dasar ketujuh kaidah dasar tersebut, dijabarkan lebih kongkrit dalam larangan/pelanggaran-pelanggaran dalam hukum adat yang isinya berurutan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran sebagai berikut :
I. Hukum Nev Nev, adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan (hukum pidana). Isinya berupa penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1 s/d 4 Larwul Ngabal kedalam tujuh pelanggaran (sasa sor fit) :
1. Muur nai, subantai (mengata-ngatai, menyumpahi).
2. Hebang haung atau haung hebang (bererencana dan berniat jahat).
3. Rasung smu-rodang daid (mencelakakan dengan jalan ilmu hitam, doti, dll)
4. Kev bangil atau ov bangil (memukul, meninju).
5. Tev hai-sung tawat (melempar, menikam, menusuk).
6. Fedan na, tetwanga (membunuh, memotong, memancung).
7. Tivak luduk fo vavain (menguburkan, menenggelamkan hidup-hidup).
II. Hukum Hanilit, adalah hukum yang mengatur mengenai kesusilaan atau kesopanan (hukum kesusilaan). Isinya berupa penjabaran dari Pasal 5 s/d 6 Larwul Ngabal kedalam tujuh tingkat pelanggaran :
1. Sis af, sivar usbuuk (memanggil dengan melambaikan tangan, mendesis atau bersiul).
2. Kufuk matko (bermain mata).
3. Kis kafir, temar u mur (mengorek dengan cara mencubit atau menyenggol dengan busur panah bagian muka maupun belakang).
4. En a lebak, en humak voan (meraih, memeluk, mencium).
5. Enwail, sig baraung enkom lawur (membuka penutup dan merusakkannya).
6. Enwel ev yan (hamil di luar nikah).
7. Ftu fweer (membawa lari atau kawin lari).
Dari tujuh pelanggaran (sasa sor fit) tersebut, masih terdapat tiga sasa sor fit dalam Hukum Hanilit, tetapi karena beratnya ancaman hukuman yang diancamkan, maka penyelesaiannya dimasukkan dalam Hukum Nev Nev, yaitu :
1. Rehe wat tee (merampas isteri orang lain).
2. Itwail ngutun-enan, itlawur umat hoan (membuka keluar penutup di atas dan bawah, merusak isteri orang lain).
3. Dos sa te’en yanat te urwair tunan (kejahatan persetubuhan sedarah/sekandung).
III. Hukum Hawear Balwirin, adalah hukum yang dimaksudkan untuk memulihkan hak-hak kepemilikan yang dilanggar oleh orang lain (hukum perdata). Berisi penjabaran dari Pasal 7 Larwul Ngabal kedalam tujuh pelanggaran (sasa sor fit) yaitu:
1. Faryatad sa (menginginkan barang milik orang secara tidak syah).
2. Etkulik fanaub atau fatub afa bor-bor (menyimpan barang curian).
3. It bor (mencuri).
4. Tefen it na il umat i ni afa it liik ke te itfanaub (tidak mau mengembalikan barang orang lain yang ditemukan atau disimpan secara sengaja maupun tidak sengaja).
5. Taan gogom atau taan rorom/rasum/ratsun (tidak bekerja, hanya makan dengan cara mencuri saja).
6. It lawur kom i ra i ni afa (merusakan atau membinasakan barang orang lain).
7. Et na ded vut raut fo en fasus te enfakuis umat lian (mengambil atau melakukan apa saja dengan berbagai cara untuk menyusahkan orang lain).
Penyelesaian terhadap pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh kepala soa (kepala dusun), orang kay (kepala desa) atau raja (kepala wilayah adat) secara berjenjang apabila pada tingkatan yang paling rendah belum dapat menyelesaikan persoalan. Akan tetapi semuanya tetap harus melalui sidang majelis kerapatan adat (dewan seniri) bersama seluruh staf kerapatan adat tersebut. Pada sidang tersebut akan ditentukan sanksi bagi pelanggar sesuai berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan. Sanksi terberat adalah terhadap pelanggaran yang mengakibatkan kematian, yaitu pelanggar akan ditenggelamkan hidup-hidup kedalam laut. Namun sebelum prosesi hukuman dijalankan akan ditawarkan kepada masyarakat apakah ada yang akan menebus si pelanggar. Tebusan ini disebut “entuv tuel na ai ngam ensak”, tebusannya berupa benda-benda adat seperti gong, lela (meriam) atau emas adat yang jumlahnya diperhitungkan sebagai pengganti bagian-bagian dari tubuh si pelanggar. Apabila ada yang menebus, maka pelanggar tidak ditenggelamkan tetapi yang ditenggelamkan adalah tebusannya. Sanksi adat terberat ini kini telah lama ditinggalkan dan digantikan dengan hukuman yang diputuskan oleh peradilan umum.
WILAYAH DAN PEMERINTAHAN ADAT
Di Kepulauan Kei terbagi dalam 22 ratschaap (wilayah adat) dimana masing-masing ratschaap dipimpin oleh seorang rat atau raja. Setiap ratschaap masuk dalam salah satu dari tiga persekutuan besar yaitu Ur Siu (Rumpun Sembilan), Loor Lim (Rumpun Lima) dan Loor Labai (Rumpun Penengah). Tercatat sepuluh ratschaap tergabung dalam Ur siu, sepuluh ratschaap berikutnya tergabung dalam Loor Lim dan sisanya dua ratschaap tergabung dalam Loor Labai.
Setiap ratschaap terdiri dari satu atau beberapa desa (ohoi) yang mempunyai hubungan erat dalam segi teritorial atau geneologis. Ohoi merupakan gabungan beberapa dusun (soa) yang dipimpin oleh orang kay (kepala desa). Setiap dusun atau soa dipimpin oleh seorang kepala soa (kepala dusun).
Berdasarkan ceritera para leluhur, para pendatang dari luar Kepulauan Kei datang bergabung dengan masyarakat asli. Seiring semakin banyaknya penduduk di suatu tempat, maka dirasakan perlunya membuat pemerintahan yang dapat menaungi seluruh masyarakat tersebut. Para pendatang dianggap lebih pandai dan berani sehingga ditempatkan sebagai pemimpin yang disebut sebagai orang kay (kepala desa) sedangkan penduduk asli menjadi menjadi tuan tan/toran nuhu (tuan tanah) karena dianggap sangat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan wilayahnya. Ikatan persaudaraan antara mereka dilakukan dengan jalan mengiris tangan dan meminum darahnya sebagai simbol ikatan persaudaraan. Konsekuensinya perkawinan antara mereka diharamkan. Hal ini merupakan asal mula pembagian kasta dalam masyarakat Kei. Kasta “mel-mel” adalah kasta tertinggi untuk para pendatang yang kemudian menjadi pemimpin (bangsawan), dibawahnya terdapat kasta “ren-ren” atau kasta menengah yang terdiri dari penduduk asli dan kasta “iri-iri” adalah kasta paling bawah. Kasta “iri-iri” adalah kasta untuk para budak yang berasal dari para tahanan yang kalah dalam peperangan atau para terpidana yang dihukum mati karena melakukan pelanggaran terhadap hukum adat namun lolos dari hukuman mati karena ada yang menebusnya.
Jabatan-jabatan dalam pemerintahan adat dibagikan secara merata kepada semua faam (marga) asli yang membentuk pemerintahan tersebut. Selanjutnya jabatan itu akan dilanjutkan oleh keturunan lurus dalam garis laki-laki dengan prioritas pada putra tertua. Berikut diuraikan jabatan-jabatan dalam adat Kei sebagai berikut :
1. Rat atau Raja adalah sebagai kepala pemerintahan dalam suatu wilayah ratschaap. Tugasnya diantaranya adalah mengkoordinir tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan oleh orang kay, menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang kay termasuk pelanggaran-pelanggaran terhadap adat serta menjaga dan mempertahankan hukum adat.
2. Kapitan (Akbitan) dan Mayor adalah jabatan untuk panglima perang. Tugasnya membantu raja dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hukum adat terutama dalam soal peperangan.
3. Orang Kay (Kepala Desa) adalah kepala pemerintahan di tingkat ohoi yang membawahi beberapa dusun. Orang kay bertugas memimpin penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayahnya dan mengatur serta menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan adat.
4. Tuan Tan/Toran Nuhu adalah tuan tanah dengan tugas memperhatikan batas-batas tanah. Peranan tuan tan akan terlihat dalam pembukaan hutan, menanam atau memanen hasil bumi ataupun hasil laut. Walaupun nama jabatannya adalah tuan tan, akan tetapi tuan tan bukanlah pemilik tanah. Tuan tan tidak berhak menjual atau menyerahkan tanah kepada orang lain apalagi untuk kepentingan pribadi. Menurut pengamatan penulis, selama ini sering terjadi salah persepsi dimana tuan tan dianggap sebagai orang yang memiliki semua tanah dalam suatu desa. Apabila persepsi ini dibenarkan oleh hakim dalam memutus perkara tentu akan mengakibatkan konflik horisontal.
5. Dir’u, Ham Wang atau Wawat adalah pemuka yang sangat ahli berbicara dan dianggap adil dalam melakukan pembagian. Nasehat dan pengalamannya sangat didengar untuk kebaikan bersama.
6. Dewan Seniri adalah dewan perwakilan yang beranggotakan kepala-kepala faam (marga). Tugasnya memberikan nasehat-nasehat mengenai pemerintahan kepada orang kay.
7. Mitu Duan (Pemuka Berhala) bertugas sebagai pemimpin upacara-upacara adat, memimpin doa dan persembahan (sesaji) maupun memohon keselamatan bagi seluruh warga masyarakat.
8. Marinyo adalah jabatan bagi pesuruh kampung yang bertugas mengumumkan perintah atasan kepada masyarakat.
9. Kepala Soa (Kepala Dusun) adalah jabatan yang hampir sama dengan jabatan orang kay akan tetapi terbatas dalam wilayah dusun. Kepala soa membawahi satu atau beberapa marga, tugasnya meliputi menjaga batas-batas desa dari penyerobotan tanah yang dilakukan oleh desa atau dusun lainnya.
10. Kepala Faam merupakan jabatan kepala marga sehingga tugasnya banyak bersifat intern marga. Tugasnya diantaranya adalah memimpin marga melakukan gotong-royong (maren), memimpin musyawarah, dan dapat melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama marga yang didasarkan kesepakatan musyawarah dengan semua anggota marga.
PERKAWINAN
Masyarakat Suku Kei adalah masyarakat patrilinial, garis keturunan didasarkan pada garis laki-laki. Sesudah seorang perempuan menikah, maka ia telah beralih mengikuti marga suaminya, begitu juga anak-anak yang dilahirkannya. Oleh kerena itu, tidak mengherankan apabila dalam hal pewarisan, anak perempuan hanya mempunyai “hak makan” karena seorang perempuan akan “kawin keluar” dan mengikuti marga suaminya.
Mas kawin yang diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan dianggap sebagai penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan atau membesarkan mempelai perempuan. Dalam Bahasa Kei (evav) disebut “envav renan ni fiit” yang artinya memikul beban ibunya. Mas kawin yang telah ditentukan kadang dianggap sangat tinggi sehingga memberatkan pihak keluarga mempelai laki-laki. Lazimnya dalam keadaan demikian pihak keluarga mempelai perempuan memberikan balasan dengan memberikan sandang pangan, perhiasan, alat-alat rumah tangga atau dapat juga berupa tanah. Hadiah balasan ini ditanggung oleh keluarga mempelai perempuan dan dinikmati oleh seluruh keluarga mempelai laki-laki maupun perempuan.
Walaupun perkawinan berhukum bapak (patrilinial), namun dalam adat evav dikenal istilah “kawin abdi” yang dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut :
1. Navdu Vat Vilin (bertuan karena mas kawin adat), yaitu walaupun telah melangsungkan perkawinan namun mempelai laki-laki belum dapat memboyong mempelai perempuan kedalam keluarga besarnya dikarenakan belum dipenuhinya mas kawin yang ditentukan dalam adat. Mempelai laki-laki tetap tinggal di rumah mempelai wanita, akan tetapi istri dan anaknya tetap mengikuti marganya (mempelai laki-laki).
2. Kawin Masuk Marga Isteri, yaitu mempelai laki-laki masuk menjadi marga mempelai perempuan sehingga anak-anak yang terlahir akan menggunakan marga istri (ibu). Hal ini biasanya terjadi karena perkawinan tidak disetujui oleh orang tua mempelai laki-laki. Tidak setujunya orang tua mempelai laki-laki misalnya karena adanya hubungan kekerabatan pada zaman dahulu yang disebut dengan tea bel (pela) atau bisa juga karena adanya perbedaan kasta.
3. Al Uha/Endir Iluk Uha/Endir Ai Wa’ar Ratan (menjadi penerus keturunan yang berdiri di atas akar kayu), yaitu dalam perkawinan yang terjadi mempelai laki-laki secara suka rela berganti memakai marga mempelai perempuan. Biasanya terjadi dalam sebuah keluarga yang kaya, namun tidak mempunyai anak laki-laki sehingga untuk meneruskan usaha, maka dicarilah seorang laki-laki yang berasal dari marga lain tetapi masih mempunyai hubungan darah untuk secara suka rela menikah dengan anak perempuannya dan berganti marga dengan cara menggunakan marga mempelai perempuan di belakang namanya.
SISTEM PEMILIKAN TANAH DAN LAUT
Tanah dan laut di Kepulauan Kei pada dasarnya telah dibagi habis pemilikannya kepada seluruh warga masyarakat dalam satuan wilayah petuanan. Masih eksisnya hak petuanan tersebut berimplikasi pada penguasaan tanah selama bertahun-tahun atau beberapa generasi belum dapat diberikan justifikasi sebagai pemilik tanah tersebut, karena orang yang bukan bagian dari pemilik petuanan dapat saja mengelola tanah atas izin pemiliknya, misalnya lahan daur ulang (kait) yang setelah tidak digunakan oleh pemiliknya akan ditinggalkan dan kemudian dapat dikelola oleh orang lain. Pengelolaan tanah oleh bukan pemilik tersebut pada akhirnya dapat berlangsung terus-menerus. Selaras dengan nilai ekonomis tanah yang meningkat munculah sengketa antara pengelola dengan pemiliknya. Oleh karenanya untuk mengetahui siapakah pemilik tanah, maka perlu digali sejarah pemilikan tanah ataupun asal usul pengelolaan tanah. Setiap sejarah adat mengenai pemilikan tanah oleh suatu marga/desa selalu mendapatkan pengakuan dari marga/desa lain yang petuanannya berbatasan.
Untuk memastikan pemilik tanah petuanan dapat dilihat dari wasiat, syair atau nyanyian yang dituturkan oleh leluhur. Dapat juga dilihat dari bukti fisik yang masih berdiri seperti adanya woma, yaitu suatu tempat yang dikelilingi tembok terbuat dari tumpukan batu. Woma secara harfiah berarti adalah pusat kampung, biasanya marga yang pertama kali menetap di suatu tempat akan mendirikan woma di tempat yang sulit dijangkau supaya efektif sebagai tempat pertahanan dari serangan musuh ataupun binatang buas. Batas-batas tanah petuanan biasanya berupa puncak/kaki bukit, lembah, batu besar, tumpukan batu, pohon besar atau aliran sungai.
Pembagian pemilikan tanah dan laut kepada seluruh warga masyarakat adat dalam satuan wilayah petuanan adalah sebagai berikut :
a. Petuanan Umum Desa/Kampung yang disebut utan/bilan/ohoinuhu, yakni wilayah darat yang menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat desa/kampung yang bersangkutan. Wilayah petuanan ini mencakup seluruh tanah desa/kampung, mulai dari kawasan pusat pemukiman atau pusat kampung/desa (ohoi) sampai kawasan hutan primair (warain vaveon) disekitarnya, termasuk luas kawasan laut dari garis batas daratan (ruat met soin) sampai kebatas kawasan laut bebas (tahit ni wear) yang ditarik sebagai suatu garis lurus dari tapal batas petuanan darat. Dengan demikian, luas suatu wilayah petuanan umum desa/kampung di Kei sama dengan luas total tanah kampung/desa yang bersangkutan ditambah luas kawasan laut dihadapannya.
b. Dalam kawasan Petuanan Umum Desa/Kampung tersebut, terdapat Petuanan Marga yang disebut rahan faam atau buuk faam, yakni kawasan yang dimiliki secara tetap oleh satu marga (soa) warga asli masyarakat adat desa/kampung yang bersangkutan. Setiap marga dalam satu kampung/desa memiliki petuanannya masing-masing, sebagai bagian dari keseluruhan petuanan umum desa/kampung yang bersangkutan. Petuanan marga ini hanya mencakup kawasan darat, mulai dari pusat pemukiman (ohoi) sampai ladang daur ulang (kait). Artinya, pemilikan lahan secara tetap oleh suatu marga hanya diperbolehkan untuk keperluan perumahan dan kebun dalam kampung (ohoi dan ohoi murin), kebun luar kampung/tepi kampung (rok) serta ladang daur ulang (kait). Adapun kawasan hutan produksi tetap (warain), hutan primair (waraian vaweon) dan dusun sagu (meon) tetap menjadi milik komunal (ulayat bersama) seluruh warga desa/kampung yang bersangkutan, tidak boleh ada pemilikan marga, apalagi pemilikan pribadi. Demikian pula halnya dengan kawasan laut, seluruhnya merupakan petuanan umum desa/kampung yang tidak boleh dimiliki oleh satu marga atau pribadi tertentu.
c. Dalam kawasan petuanan marga tersebut, barulah terdapat petuanan keluarga pati (nutun riin matan), yakni lahan yang dimiliki secara tetap oleh suatu rumah-tangga anggota marga yang bersangkutan. Umumnya hanya terbatas untuk perumahan dalam kampung (ohoi) dan kebun dalam kampung (ohoi murin), sementara kawasan kebun luar/tepi kampung (rok) dan ladang daur ulang (kait) tetaplah merupakan petuanan marga.
Pengecualian terhadap sistem di atas dapat saja terjadi, misalnya adanya tanah yang telah diberikan kepada suatu marga sebagai imbalan jasa karena membantu dalam peperangan. Pada zaman dahulu sering terjadi pihak yang menang perang dalam suasana senang memberikan sebidang tanah kepada pihak yang membantunya. Dalam peperangan terdapat juga sejarah berupa pihak yang kalah perang menunjuk sebagian tanahnya untuk menjadi “hak makan” bagi pihak yang menang perang. Pemilik tanah tetap berada pada desa yang kalah perang, hanya orang dari desa yang menang perang bebas untuk mengambil hasil tanpa gangguan dari pihak pemilik petuanan. Pengecualian lain terjadi dalam hal sebagian kecil dari tanah petuanan desa diberikan kepada desa lain untuk tempat persobatan atau tempat persinggahan/istirahat apabila mereka bepergian atau berlayar.
Perampasan hak milik atas tanah sering menimbulkan peperangan atau pembunuhan. Amanat leluhur “mel yanan ro nmat, ne mas tom ro nmam, nan bail yanad urad fel nuhu wahan soen” yang artinya “anak bangsawan gugur dan mas pusaka dikorbankan untuk membela sanak saudari dan batas tanah mempertahankan hak milik tanah/meti (laut yang kering ketika surut)”. Kekacauan tersebut kemudian akan diselesaikan oleh para pemangku adat dan apabila tidak dapat diselesaikan, maka akan dilakukan sumpah “makan tanah”. Sumpah tersebut dilakukan dengan cara mengambil sedikit tanah yang disengketakan kemudian dicampur dengan air laut dan air tawar, ditambah sedikit serbuk emas. Selanjutnya tetua adat akan mengambil sumpah, baru kemudian air campuran tersebut diminumkan. Sumpah demikian dipercaya mempunyai konsekuensi mistik sehingga sangat ditakuti oleh orang yang bersengketa tanpa dasar hak.
PENUTUP
Hukum Larwul Ngabal telah mempersatukan dan mendamaikan masyarakat Kei sejak beratus-ratus tahun yang lalu dari segala bentuk perpecahan dan peperangan. Bagi masyarakat Kei, agama boleh berbeda tetapi tetap dipersatukan oleh satu hukum adat. Terbukti dari konflik agama pada tahun 1999, tidak kurang dari 200 jiwa meninggal, ratusan lainnya menderita luka berat ataupun ringan dan puluhan desa nyaris rata dengan tanah, tetapi dengan pola rekonsiliasi yang mengedepankan hukum adat, konflik tersebut segera berakhir. Saat ini suasana sangat kondusif, berbeda dengan daerah-daerah lain yang hingga bertahun-tahun lamanya masih terdengar berita konflik yang tidak kunjung selesai.
Penghargaan masyarakat Kei terhadap hukum adat dapat dipahami sebagai kongkretisasi nilai-nilai, sikap, pandangan maupun paradigma masyarakat terhadap hidup dan kehidupan yang terbentuk dan berkembang selama beratus-ratus tahun. Hukum demikian dapat dipahami sebagai “a great antrhrpological document” sehingga merupakan hukum responsif karena sebagai cerminan kebutuhan dan budaya masyarakat yang bersangkutan.
Sayang, seiring dengan pardigma positifisme dalam pembangunan hukum, keberadaan hukum adat selama ini banyak terpinggirkan. Lembaga-lembaga lokal otonom yang mendukung berfungsinya proses sosial banyak digantikan dengan lembaga-lembaga baru yang bukan merupakan cerminan dari basis sosial setempat. Berbagai undang-undang dilahirkan dengan keyakinan hanya hukum positiflah yang mampu mencapai tujuan dari hukum, yaitu kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.
Hal ini terlihat dari UU No. 5/1960 yang hanya memungkinkan hukum adat berlaku namun sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi atau kepentingan nasional. UU No. 5/1979 juga adalah bukti nyata peran negara dalam memberangus hukum adat dengan cara menyeragamkan pemerintahan desa sehingga tidak mempunyai akar sosiologis masyarakat adat setempat. Namun kini dengan keberadaan UU No. 22/1999 Jo. UU No. 32/2004 dapat dianggap sebagai kepedulian terhadap the living law karena adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga lokal otonom (misalnya di Kepulauan Kei : Ohoi) walaupun masih dengan batasan-batasan yang sangat ketat. Diharapkan hukum adat dapat semakin eksis dan berkembang serta dapat menjadi sumber nilai-nilai yang mendasari pembentukan hukum nasional.
Catatan :
Hak petuanan selalu berkorelasi dengan intensitas hubungan antar individu dalam masyarakat. Semakin maju dan bebas (rasional-individual) masyarakat membawa konsekuensi hak petuanan yang bersifat komunalistik religius akan melemah. Olehkarenanya walaupun hak petuanan masih eksis, tetapi telah banyak juga tanah-tanah yang menjadi milik pribadi sebagai akibat jual-beli, hibah, tukar-menukar dan bahkan pewarisan. Konsekuensinya dalam memeriksa sengketa tanah perlu diteliti eksistensi tanah petuanan itu sendiri, sejarah tanah maupun asal usul pengelolaan tanah.
Tual-01-07-2017
Senin, 26 Juni 2017
Keindahan Maluku Tenggara
Goa hawang (Hawang dalam bahasa setempat yaitu SETAN) | . |
Goa ini berjarak 15km dari langgur(pusat kota) lama perjalanan untuk sampai ke objek wisata ini sekitar 30 menit.goa hawang berada di desa Letvuan.
Bukit Masbait |
Pesona keindahan pulau Kei Kecil
Bair adalah salah satu Tempat wisata yg sangat indah dan menawan. Pantai ini dijuluki sebagai Raja Ampat ke-2. Bair memiliki keunikan sendiri dari Raja Ampat, Bair memiliki daya tarik sendiri dgn 2 teluk yg berwarna hijau, Tak hanya itu saja Bair memiliki Manggrove dan Tebing yg sangat indah dan juga dapat memanjakan mata.
Langganan:
Postingan (Atom)